Pejalan ingin pulang

 




Di era serba (dan senantiasa) terhubung ini, pejalan perlu sejenak mengasingkan diri. Pejalan perlu memutus segala sambungan yang dimilikinya dengan dunia luar. Supaya ia dapat kembali mengenali dirinya sendiri, sosok yang lama tak berbincang dengannya.


Sosok itu kini sudah berubah menjadi sosok yang asing. 

Apa yang ia inginkan? Pejalan tak tahu. Apa ia berpuas dengan kehidupan yang dia jalani? Pejalan tak tahu. Adakah ia merasakan kehangatan cinta dari semesta? Pejalan tak tahu.


Malam pun berganti. Pertanyaan yang tak terjawab tentang dirinya sendiri telah membuat pejalan tidak tahan dengan kesendirian. Ia lebih paham tata cara bergaul dengan teman-temannya, maka ia lebih memilih untuk berpesta. Pejalan terjebak bersama hal-hal yang tampak mata memberikan kenikmatan, meski semu. Maka ia berupaya menjadi seperti apa yang orang lain inginkan tanpa pernah tahu apakah itu yang dia inginkan. Ia menyiksa diri sebab berpikir inilah yang seharusnya dilakukan.


Ketika malam berganti (lagi), pejalan pun kembali tersadar. Ia tak bisa terus begini.  Pejalan perlu menilik kembali makna keberadaan dirinya dan segala hal yang dilakukannya. Semua itu demi memuaskan siapa? Tak ada yang tahu pasti.


Kalau tidak begitu, pejalan hanya akan berubah menjadi mesin-mesin yang berpacu dengan perkembangan teknologi dan ekonomi global. Mesin-mesin itu selalu bergerak dengan efektif dan efisien, tak ada sedikit pun waktu dan tenaga yang boleh dibelanjakan untuk hal-hal abstrak yang tidak dapat terkuantifikasi. Apalagi jika hal-hal itu bukan bagian dari rumus pasti untuk menghasilkan angka-angka sakti. Angka-angka yang sudah menjadi ukuran kualitas kehidupan era ini.


Setelah subuh ia habiskan dengan peluh, malam kembali datang meski sejenak. Dalam masa-masa rehatnya itu, terlintas pertanyaan jujur dari nurani pejalan: benarkah alat ukur ini ekuivalen dengan nilai kehidupan itu sendiri? atau jangan-jangan ukuran tersebut telah menyimpang jauh dari kenyataan hidup yang sejati?


Segala ukuran-ukuran tentang kehidupan yang dibuat pejalan nampaknya telah gagal berfungsi. Sialnya, angka-angka yang diraih oleh pejalan tidak dapat dikonversi menjadi kebahagiaan. Ia mengaku bekerja keras demi keluarga. Namun, saking kerasnya ia bekerja tak lagi ia kenali siapa keluarganya. Ia bekerja demi mimpi yang diagungkan orang-orang. Ketika telah meraih semuanya, ia justru merasa hampa. Justru ia merasa telah kehilangan semuanya.


Pada belahan bumi lain, ada pejalan-pejalan yang berpikir bahwa dirinya begitu perkasa. Dunia akan ditaklukkannya. Tak akan ada yang dapat menggantikannya. Kemuliaan adalah miliknya. Lantas ketika daya tak lagi berpihak kepadanya. Kuasa atas nasibnya sendiri pun ia tak punya. Semua orang meninggalkannya. Raja-raja terusir dari kerajaannya. Manajer yang dipecat digantikan oleh bekas bawahannya. Selebritis yang dipuja pun ditinggalkan penggemarnya. Bahkan mungkin tak lama lagi, segala keindahan dunia akan pergi darinya.


Atas segala jerih payah perjuangannya dalam menaklukkan dunia, pejalan telah membayar harga yang paling mahal. Ia rupanya telah menggadaikan kebahagiaannya. Padahal, kebahagiaan mulanya adalah rumah pejalan, tempat ia lahir dan bertumbuh kembang. Rumah yang paling berharga dan akan selalu dirindukan.


Pejalan-pejalan yang mengaku dewasa selalu saja mengingat masa kanak-kanaknya di kala ia sedang diterpa arus deras kehidupan. Saat mereka teringat betapa kehidupannya terbelenggu oleh pekerjaan. Saat mereka kehilangan dirinya sendiri, dan merasa hampa di tengah keramaian dan hiruk-pikuk metropolitan. Saat mereka ingin dicintai, namun menelan pahitnya kekecewaan atas pengharapan kepada pejalan lain. Saat ia melihat seorang bayi yang tertawa meski baru saja terjatuh dari upayanya untuk belajar berdiri. Lantas, terlintas pada benak mereka: alangkah indahnya kehidupan anak-anak kecil itu.


Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa ada yang dirindukan oleh pejalan. Di perut gunung jiwanya, terpendam lava rindu yang menunggu waktu untuk dimuntahkan. Suatu kerinduan yang besar akan kebahagiaan yang sejati. Dan ia selama ini terkekang oleh kerangkeng persepsi yang dicipta-ciptakan oleh pejalan sendiri.


Sejenak ia memerlukan keterpisahan. Keterpisahan dari segala ikatan dengan dunia. Dan hanya ada satu yang ia butuhkan. Hanya butuh kejujuran hati untuk mengakui bahwa kebahagiaan adalah rumah tempat mereka ingin kembali. Kebahagiaan untuk dapat bercengkrama dengan diri sendiri. Sebab, telah lama mereka berkelana. Bertahun-tahun mereka berpikir bahwa dengan berkelana mereka akan lebih bahagia. Kini, saat jarum jam menunjuk pada nurani, pejalan tahu bahwa yang ia inginkan adalah pulang kepada kebahagiaan.



Dia lelah berkelana, dia ingin pulang ke kebahagiaan.



Aku lelah berkelana, aku ingin pulang. Dan, jika aku harus bekerja, aku akan melakukannya dari rumahku. Aku ingin bekerja dengan bahagia.


 


 


 


Comments

  1. Keren san
    Apa yg kita punya sejak kecil tp terkadang tidak terasa ✨Rumah✨

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts