Idup, sukses, dan perbedaan

Ditengah lelahnya menjalani quarantine karena pandemic Covid-19 yang ga selesai-selesai karena dangkal dan egoisnya beberapa manusia. Entah mengapa perbincangan saya dengan beberapa teman hidup, teman dekat, teman seperjuangan menjadi lebih detail lagi dalam mendeskripsikan arti hidup dan sukses.

Dari awal, saya pribadi menegaskan bahwa kesuksesan tidak menjamin kebahagiaan, ini pasti.

Okelah, sebelumnya kita pasti punya definisi masing-masing tentang apa itu arti hidup? Keep masing-masing aja ya. Menurut saya pribadi hidup itu estafet lintas generasi. Cukup sampe sini ya.

Kalau kamu mau berhasil, jelas kamu butuh track record akademis yang oke, kemampuan berpikir, dan kerja keras. Ketiganya akan membawamu sukses namun kamu harus sabar mencapainya. Perlu waktu, ada proses, antrian dan persaingan yang harus kamu lalui

Sayangnya, tidak semua orang beruntung dan bisa terlahir dalam kondisi yang sama dengan kebanyakan orang. Start di garis yang tidak sama.

Lahir tanpa cacat, mendapatkan asupan nutrisi yang cukup hingga berkembang dengan sehat. Lalu, memiliki kesempatan untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung, hingga akhirnya pendidikan formal pun bisa dimiliki. Tak semua orang beruntung dan bisa mendapatkan berbagai fasilitas yang mencukupi kebutuhan, sebab kebetulan orang tuanya mampu.

Juga tak semua orang mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dalam suatu tataran keluarga yang utuh. Ada Bapak yang pagi-pagi sudah bersiap berangkat kerja ke kantor. Sebelum berangkat sekolah bisa mencicipi sarapan buatan Ibu. Lalu, bersama dengan adik-adik yang sangat akrab, mencium tangan orang tua, sebelum akhirnya diantarkan ke sekolah.

Bebas bercita-cita. Sebab dunia yang dilihat begitu luas. Semuanya terasa mungkin. Tak ada yang tak bisa dilakukan. Tumbuh dan berkembang sesuai dengan apa yang diinginkan. Apa yang dimau selalu bisa didapatkan. Tak perlu berpikir tentang hidup susah. Ya, untuk apa hidup susah, akhir pekan pun pasti bisa bertemu dengan seluruh anggota keluarga, bercengkrama, dan bersendagurau bersama. Harmonis, indah, saling menghormati, saling terbuka.

Tapi, ada pula mereka yang ditakdirkan untuk memiliki kehidupan berbeda. Buat orang-orang seperti ini, mereka harus siap menerima kenyataan bahwa yang ia alami memang tak pernah ‘biasa’.

Ada yang ibunya tak bisa memasak, dan selalu sibuk bekerja. Jika anaknya sedang mencari perhatian, yang diberikannya adalah uang agar si anak tak mengganggu pekerjaannya. Ada yang ayahnya seorang pejabat yang selalu sibuk rapat ke sana kemari. Ayah tak pernah ada waktu untuk mengobrol. Yah, sesekali ayah mengajak jalan-jalan untuk membeli mainan dan pakaian, atau sekedar makan di restoran. Tapi Ayah, tetap akan sibuk dengan telepon genggamnya. Adik atau Kakak? Ah, mereka punya kehidupannya masing-masing. Jarak dalam ruang boleh sangat dekat, tapi jarak dalam batin jauh menuju tak hingga.

Ada pula yang sejak kecil hidup bersama Ayah, karena ibunya sibuk bekerja di luar kota

Ada pula yang orang tuanya berpisah. Dari kecil anak-anak terbiasa melihat pertengkaran. Kesibukan dalam pekerjaan dan konflik dalam hubungan tak jarang membuat anak-anak ‘terlantar’. Ah iya, anak-anak masih bisa makan, masih bisa sekolah, masih bisa bermain, tak ada masalah.

Ada pula yang sejak lahir tak pernah mengenal Ayahnya. Tak tahu Ayahnya dimana, apakah sudah meninggal atau masih hidup, jika hidup, bekerja dimana? Tak tahu. Tak pernah tahu. Yang dia tahu hanyalah Ibu. Ibu yang membesarkan saya, Ibu yang membiayai hidup saya. Dan Ibunya memang tak pernah memberi tahu tentang Ayahnya, atau menceritakan bahwa Ayahnya sudah lama meninggal.

Ada pula yang ibunya sudah meninggal. Lalu Ayah dan Adiknya menyeberang perbatasan negara dan beralih kewarganegaraan demi kesejahteraan. Ia hidup dengan kakeknya di sebuah dusun yang benar-benar tertinggal. Jauh dari ricuh gemuruh kota metropolitan. Sekolah dengan nilai yang jauh dari sepuluh, seragam yang jauh dari layak, dan bahkan alas kaki.

Tapi perbedaan itu rupanya bukan ada pada situasi yang ada. Situasi dan segala fasilitas tak menjamin seseorang untuk menjadi ‘bermutu’. Situasi yang begitu sulit dan berbeda dari kebanyakan pun tak menjamin seseorang untuk menjadi ‘kacangan’. Dan bayangkan, dengan kondisi-kondisi yang berbeda tadi-yang dianggap tidak normal-jika mereka bisa mendekati atau bahkan melampaui prestasi mereka yang ‘normal’, orang-orang itu justru akan menjadi lebih kuat.

Sebab mereka tahu bahwa keterbatasan hanya bisa dilihat oleh di mata.. Dan mereka tahu, bahwa hidup harus dipandang tak cukup dengan dua bola mata, tapi juga senyala mata hati..

Tambahan dari seseorang yang saya kagumi,

"Game dari hidup ini bukan finish di garis yang sama dengan orang lain, tapi bagaimana kita menempuh jarak sejauh-jauhnya, supaya generasi berikutnya gak mulai dari titik dimana kita memulai."



Comments

Popular Posts